Thursday, 29 April 2010

ARKEOLOGI BAWAH AIR ; MELACAK KAPAL KARAM

Ditemukannya lima situs kapal kuno yang karam di sekitar perairan Karimunjawa, Jawa Tengah, bukanlah perkara mudah. Maklum, barang yang ditemukan relatif kecil dibandingkan  luas dan dalamnya lautan. Selain itu, teknologi yang digunakan pun masih sangat terbatas.

Masih ada ratusan kapal kuno lagi yang tenggelam di sekitar perairan Indonesia. Kapal-kapal kuno itu karam sejak zaman Kerajaan Sriwijaya (abad VII) hingga Dinasti Song (abad X - XIII). Untuk melacak kapal-kapal karam itu, Indonesia hanya punya 1 unit alat Magnetometer AX2000. Itu pun hasil pemberian asing yang telah bekerjasama dengan Indonesia untuk melakukan survey sejak tahun 2009.

"Walaupun bukan yang terbaru, dengan bantuan magnetometer AX2000 itu kami sudah sangat terbantu," kata Gunawan, Kepala Subdit Eksplorasi Direktorat Jenderal Arkeologi Bawah Air Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Senin (26/4) di Jakarta. "Peralatan lain, seperti Global Positioning System (GPS)-Map juga punya satu," katanya.

Kalau peralatan sudah minim, jangan tanya soal kapal atau perahu yang khusus untuk survey. Jawabannya, tidak ada. Setiap kali kegiatan harus menyewa kapal atau perahu. Belum lagi bicara soal sumber daya manusia di bidang arkeologi bawah air yang terbatas, yang hanya memiliki dua penyelam andal untuk kedalaman 50 meter. Ditambah lagi, pekerjaan seperti ini belum ada asuransinya.

Begitu menyedihkan dan betapa bangsa ini belum menunjukkan kepeduliannya dengan arkeologi bawah air.

Berdasarkan berbagai dokumen sejarah, di laut Indonesia yang luasnya sekitar 5,8 juta kilometer persegi terdapat sekitar 500 titik lokasi kapal kuno yang karam sekitar tahun 1508 - 1878. Sementara, dari informasi sejarawan China menyebutkan, dari abad X sampai XX, sekitar 30.000 kapal China yang berlayar ke Wilayah Indonesia tidak kembali. Itu baru kapal China, belum lagi kapal-kapal dagang Belanda (VOC), Inggris, Portgal dan Spanyol, yang tentu tak terhitung jumlahnya, karam mulai dari perairan Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga bagian timur Indonesia, yang sejak zaman dahulu menjadi daerah lalu lintas kapal yang ramai.

Menurut Direktur Peninggalan Arkeologi Bawah Air Direktorat Jenderal Sejarah dan  Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Surya Helmi, peninggalan arkeologi bawah air yang ditemukan di dasar laut merupaka sumber daya maritim yang penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan, sejarah dan kebudayaan sehingga keberadaannya dilindungi oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.


Teknologi untuk survei

Potensi situs yang sangat banyak, sedangkan pengawasan lemah di lautan yang sangat luas, menyebabkan kasus-kasus pencurian benda cagar budaya (BCB) bawah air marak sejak tahun 1980-an. Yang paling menghebohkan adalah kasus disekitar  Karang Heliputan, Provinsi Riau. Tahun 1989, Michael Hatchar, arkeolog maritin asal Australia, melakukan penganggakatan BCB secara ilegal. Dari kapal Geldernmaisen yang digunakan untuk mengangkat BCB dibawah  air tersebut, disita 14.000 keramik dan 225 logam mulia peninggalan Dinasti Ching dari abad 18-19 Masehi. Meskipun demikian, Hatcher berhasi melelang BCB temuannya di Balai Lelang Christie senilai 15 juta dollar AS atau sekitar Rp.135 miliar setara rupiah saat ini.

Bukan itu saja, pada 1999 di Batu Hitam, Bangka Belitung, sebuah perusahaan asing mengambil ratusan emas batangan dan 60.000 porselen China dari Dinasti Tang yang dilelang senilai 40 juta dollar AS. Tidak diketahui kasus-kasus pencurian yang luput dari perhatian.

Cara melacak

Untuk melacak kapal karam diperlukan studi literatur, informasi dari nelayan atau penduduk setempat dan orang yang mengetahui.

Menurut Gunawan, sesudah itu ditentukan areal survei dalam peta kerja. Kapal dengan menggunakan magnetometer, side scan sonar, deteksi logam dan GPS Pam Sounder, berkeliling membuat jalur magnetometer.

"Magnetometer yang ditarik kapal berkecepatan 3,5 knot/jam melayang sekitar 7-8 meter dari dasar lautan. Magnetometer bisa mendeteksi keberadaan besi atau logam lain mskipun tertimbun longsor atau ditutupi karang lebih dari satu meter," ujarnya.

Jika menemukan timbunan logam, magnetometer memancarkan sinyal yang kemudian ditangkap pada layar komputer diatas kapal.Singal itu di ubah dalam bentuk tiga dimensi sehingga petugas diatas kapal bisa memastikan barang yang teridentifikasi tersebut kapal atau bukan. Jika diduga kapal maka dilakukan penyelaman untuk memastikan muatannya," kata Gunawan.

Kelihatannya sederhana, namun tidak gampang melakukannya karena luasnya wilayah lautan Indonesia. (Sumber : Kompas, 28 April 2010, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Oleh : Yurnaldi)

No comments:

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar anda, terima kasih...